Tuanku Hasyim bangta muda, pejuang kemerdekaan di Aceh yang terlupakan.

   Apabila berbicara sejarah Aceh, maka sepanjang sejarah itu pula, Aceh tidak pernah luput dari pertumpahan darah. Tahun 1596 Belanda mulai menginjak kakinya di kepulauan Nusantara dan 23 tahun kemudian tepatnya 1619 M Belanda mulai menggeranyangi sebahagian besar kepulauan Nusantara. Namun demikian, fakta sejarah menyebutkan bahwa hingga tahun 1942 disaat mereka terpaksa angkat kaki dari Hindia Belanda pada waktu itu, ternyata masih terdapat sebingkah tanah yang belum mampu diterobos oleh angkatan perangnya, masih terdapat segolongan umatnya yang belum pernah mengaku kalah dan merasa terjajah bahkan masih terdapat seorang Raja yang tidak mau menyatakan takluk dan tetap menolak untuk menyerahkan kedaulatan negaranya kepada Belanda. Sebingkah tanah itu adalah Tanah Rencong, umatnya itu adalah putera-putera Aceh nan gagah berani dan Rajanya adalah Sulthan Alaiddin Muhammad Daud Syah yang merupakan Sulthan terakhir di Aceh Darussalam Persada Iskandar Muda.
   Perang Aceh yang memakan waktu lebih dari setengah abad itu, telah merugikan Pemerintah Kerajaan Belanda karena besarnya biaya perang yang harus dikeluarkannya. Belanda menderita kerugian. besar selama 69 tahun menjajah Aceh. Untuk menguasai Aceh mereka sendiri tidak mampu menghitung jumlah biaya yang telah dikeluarkannya serta tidak mengetahui berapa puluh ribu jiwa serdadu mereka yang mati konyol sebagai korban nafsu penjajah angkara murka. Ini bukanlah yang terjadi begitu saja, tetapi ia sudah berakar jauh mengikuti perputaran masa. Tanah Rencong sendiri akan mengaku dan bersedia menjadi saksi, bahwa di seluruh tanah airnya pernah mengalir darah merah yang berasal dari batang tubuh tentara penjajah kafir.
   Rakyat Aceh memiliki sejumlah tokoh pahlawan dan pejuang yang gigih dan memiliki komitmen terhadap tegaknya Republik Indonesia sehingga apapun dikorbankan demi perjuangan memperjuangkan kemerdekaan indonesia. Selain nama-nama seperti Teuku Umar, Tjut Nyak Dien dan sejumlah nama lainya yang telah dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional, Aceh juga memiliki sejumlah nama-nama yang patut dikenang dan berjasa bagi bangsa Indonesia seperti Tuanku Hasyim Bangta Muda yang berjuang memerangi kolonialisme belanda sehingga Belanda kewalahan dalam memperluas kekuasaanya di tanah Rencong. 
Diantara ribuan pejuang itu, di dalam tulisan ini saya menggambarkan salah satu dari ribuan pahlawan Aceh dalam menentang penjajahan. Betapa hebatnya Tuanku Hasyim Bangta Muda seorang panglima perang yang selama 40 tahun lamanya memimpin seluruh perjuangan dan peperangan Aceh melawan Belanda. Perjuangannya dimulai dari tahun 1858 sampai 1873 dalam bentuk konfrontasi dan tahun 1873 sampai 1897 tampil dalam bentuk perang resmi. Tentulah terlalu banyak peristiwa-peristiwa penting yang telah dilakukannya yang dapat dituliskan dalam buku sejarah. Niscaya diperlukan beribu-ribu halaman buku untuk memaparkan sejarah perjuangannya itu. Ia tampil ke arena pertempuran laksana singa Allah dalam membela agamanya baik karena tugas jabatannya, baik karena bakatnya yang dibawa sejak lahir sebagai orang berperang, ataukah karena tekad dan keberaniaannya yang tidak bisa ditawar-tawar, ataupun karena pengetahuan, pengalaman dan keahliannya dalam ilmu siasat dan strategi peperangan. 

1. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini, yang paling penting ialah untuk menambah wawasan ilmu tentang Tokoh-tokoh yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia yang ada di Aceh. Selain itu penulisan karya ilmiah ini juga mempunyai tujuan lain yaitu: untuk mengetahui biografi Tuanku Hasyim Bangta Muda sebagai keluarga kerajaan Aceh dan Menuliskan Perjuangan Tuanku Hasyim Bangta Muda dalam Memerangi kolonial Belanda. 

2. PEMBAHASAN 
1. Tuanku Hasyim Bangta Muda Sebagai Keluarga Kerajaan Aceh
Tuanku Hasyim Bangta Muda berasal dari kaum keluarga Sulthan Aceh sekaligus sebagai ahli waris Kerajaan Aceh. Tidak ada yang mengetahui secara persis tahun kelahirannya, tetapi diperkirakan ia lahir tahun 1834. Ia adalah putra dari Laksamana Tuanku Abdul Kadir, anak dari Tuanku Cut Zainal Abidin, dan seterusnya anak Sulthan Alauddin Muhammad Syah Sulthan Aceh yang memerintah antara tahun 1781 sampai 1795. Secara lengkap susunan keturunannya dapat dicatat bahwa ia anak dari Laksamana Tuanku Abdul Kadir, ibnu Raja Muda Tuanku Cut Zainal Abidin, Ibnu Sulthan Alaiddin Mahmud Syah, Ibnu Sulthan Alaiddin Johan Syah, Ibnu Sulthan Alaiddin Ahmad Syah, Ibnu Nuruddin Abdurrahim Mahareja Lela, Ibnu Faqih Zainal Abidin Syah, Ibnu Malik Daim Mansyur Syah, Ibnu Musa Daim Syah, Ibnu Hasyim Nurruddin Syah, Ibnu Mansyur Syah, Ibnu Sulaiman Syah Daim Ali Iskandar, Ibnu Ibrahim Syah Daim. 
Di dalam buku Aceh Sepanjang Abad Karangan H. Muhammad Said menyebutkan bahwa nama Tuanku Hasyim Bangta Muda disebut juga Tuanku Rajeu. Tuanku Hasyim sejak kecil sudah menampakkan kecerdasannya yang luar biasa, dengan kecerdasan dan kecepatan berfikir, dirinya mampu menyerap ilmu yang diajarkan para gurunya, termasuk mampu menguasai beberapa bahasa seperti bahasa Perancis, Belanda, Inggris, Arab, Urdu dan Melayu secara fasih. Lewat kecerdasannya, ia menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu Mantiq, Fiqih, Tafsir, Tasawuf, Hadist. Di samping ilmu-ilmu agama ia juga sangat menekuni ilmu filsafat, Ilmu Siyasah (politik), Tarikh (Sejarah), pemerintahan, hukum dan adat istiadat. Ia juga sangat ahli dalam bela diri. Dalam sejarah disebutkan bahwa ia tidak dapat dikenakan senjata tajam dan senjata api.

2. Kepribadian Tuanku Hasyim Bangta Muda 
Sebagai sosok pejuang yang memimpin seluruh kegiatan gerakan penentangan terhadap penjajahan Belanda selama 40 tahun lamanya, memiliki dua kepribadian sekaligus di dalam hati sanubarinya yaitu jiwa kelembutannya dan jiwa kekerasannya. Ia mempunyai sifat kerendahan hati, dan sangat loyal terhadap pasukannya. Karena kepribadiannya yang lembut, ia disayangi dan dicintai oleh seluruh rekan-rekannya. Di samping itu ia sangat berani dan tegas dalam menindas ketidakadilan. Suatu ketika ia pernah menampar hingga tersungkur Habib Abdurrahman Az Azhir seorang petualang yang sangat ambisi untuk menjadi Sulthan Aceh.
Pada suatu hari, di dalam Masjid Baiturrahman, Habib Abdurrahman mencaci maki Teuku Nyak Raja Imeum Lueng Bata. Melihat tingkah Habib itu, Tuanku Hasyim hanya tenang saja melihat rekannya diberlakukan secara kurang ajar di depan umum. Teuku Nyak Raja sudah merah padam mukanya, akan tetapi karena Habib mempunyai pengaruh yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, apalagi dihadapannya terdapat Tuanku Hasyim, Teuku Nyak tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah melaksanakan ibadah shalat Jum'at, dan kali ini berada di luar masjid, kembali Habib menghujat Imuem Lueng Bata dalam bentuk yang lebih dahsyat lagi. Tuanku Hasyim tetap menunjukan sikap ketenangannya sambil memberi nasehat agar Habib berlaku sopan, serta meminta maaf kepada Imuem Lueng Bata atas kekhilafannya. Karena Habib merasa dirinya terlalu besar untuk ditegur, maka cacian makinya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba Tuanku Hasyim menangkap tangan Habib serta menamparnya hingga terpelanting ke tanah. Habib Abdurrahman tercengang- cengah melihat kejadian ini yang belum pernah dialami sepanjang hidupnya. "Minta maaf" teriak Hasyim dengan lantang. Akhirnya Sang Habib meminta maaf kepada Imuem Lueng Bata, dan sejak saat itu ia sangat segan dengan Tuanku Hasyim. Akan tetapi, Habib Abdurrahman kabarnya sempat mengkhianati seorang tokoh strategi kaliber berat yang bernama Teuku Ibrahim yang menjabat sebagai Panglima di wilayah Lamnga seorang rekan Tuanku Hasyim sekaligus bekas didikannya. Pengkhianatan ini mengantarkan Teuku Ibrahim ke pintu kesyahidan. Sebagai seorang yang setia kepada rekan-rekan Tuanku Hasyim, ia segera memerintahkan seorang kepercayaannya untuk mengsiasati persoalan itu, tetapi amat disayangkan Habib Abdurraman sempat melarikan diri dan menyerahkan diri kepada Belanda setelah mengetahui siasat Tuanku Hasyim untuk menangkapnya .

3. Keberanian Tuanku Hasyim Bangta Muda
Tuanku Hasyim seorang yang sangat pemberani. la seorang pendekar ulung yang tidak dapat dikalahkan dalam arena perkelahian. Ia mempunyai kesaktian untuk tidak bisa dikenai oleh senjata api atau senjata tajam. Ia mempunyai ilmu ma'rifat pedang yang apabila pedang dalam genggamnya dikuncinya pedang itu berbunyi berdengung-dengung, merah laksana besi dibakar, dan dalam keadaan demikian sekali pancung ia dapat memenggal putus lima serdadu Belanda dengan laras-laras senapannya yang ditahan sebagai perisai. Tuanku Hasyim disamping memiliki keahlian menggunakan pedang, ia juga sangat ahli menggunakan senapan yang dapat menembak tepat sasarannya asal nampak dilihat mata atau didengar suaranya dengan telinga, tanpa perlu dibidik.
Sebagai seorang Jenderal Besar yang mempunyai beberapa ilmu kesaktian tentu suatu kehormatan apabila Tuanku Hasyim dapat menewaskan seorang musuhnya yang berpangkat Jenderal. Jendral Kohler dalam expedisi pertama ditembak oleh Panglima Polim Mahmud Cut Banta, atau oleh T. Nyak Raja Imeuem Lueng Bata/ Panglima Dalam. Mereka adalah juga penembak-penembak tepat dan penembak ma'rifat. Jenderal Pel tewas di ujung bayonet Tuanku Hasyim Sang Panglima Perang. 
Selain pemberani Tuanku Hasyim juga adalah seorang yang sangat ahli dalam ilmu strategi dan peperangan. la ditakdirkan lahir sebagai panglima perang yang mahir. Kata Van Swieten musuh Tuanku Hasyim dalam bukunya: "Setiap patriot yang ingin berperang datang ke Keumala untuk mendapat petunjuk dan pengangkatan resmi darinya. Maka mereka dilatih di sana sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Mereka itu di samping dididik ilmu pedang diberikan juga diberi doa anti peluru dan senjata tajam. Maka lahirlah pahlawan-pahlawan Aceh yang gagah perkasa yang dapat menggempur hancur bivak- bivak pertahanan Belanda serta menyergap secara mendadak patrolli- patrolli Belanda. Menyerbu pertahanan-pertahanan Belanda hingga mereka sudah tidak memiliki daya juang sedikitpun lagi. Malah mereka dihantui ketakutan." 

4. Perjuangan Hasyim Bangta Muda Dalam Memerangi kolonial Belanda.

4.1. Pertempuran di Kutaraja Perak
   Ketika Belanda menyerbu ke Kutaraja Perak pejuang Aceh disana langsung dipimpin oleh Tuanku Hasyim dengan jatuh korban banyak dari pihak Belanda. Tetapi Van Swieten menafikan fakta ini bahwa dari pihaknya tidak ada kerugian yang berarti, padahal fakta menyebutkan pertempuran di Kutaraja Perak telah jatuh banyak korban dari pihak Belanda yang diperkirakan berjumlah lebih 1000 orang. Tetapi dibantah oleh Van Swieten dalam tulisanya mengatakan: "Tanggal 14 Desember 1873 pagi Jenderal Verspijck dengan tiga setengah batalyon infanteri, 1 battery artilleri, 20 penunggang kuda dan setengah peleton rombongan geni, berangkat untuk menyerang pertahanan Aceh - Kuta Raja Perak - yang lebih dulu sudah disiasati. Tiga ratus langkah di Selatan Kuta Musapi, Verspijck disambut oleh tembakan-tembakan gencar dari suatu pertahanan Aceh, dimana pasukan Verspijck terlibat dalam suatu perkelahian yang sangat dahsyat. Kuta itu dapat kita rebut. Pihak Aceh meninggal 85 mayat dan besoknya dijumpai 30 mayat lagi. Tapi dipihak kita juga terdapat kerugian yang berharga. Kecuali 3 opsir luka, diantaranya seorang bernama Kapten W.H. Voorman yang keesokan harinya mati karena lukanya itu, masih ada 4 Belanda dan 2 bumiputera bawahan yang mati dan 41 bawahan luka-luka". 
Setelah terjadi pertempuran-pertempuran sengit yang harus dibayar mahal oleh Belanda dengan darah dan nyawa, barulah pasukan Aceh memindahkan posisinya kepertahanan lain yang lebih strategis. Dari pihak Aceh banyak jatuh korban; mereka syahid dalam mempertahankan agama dan negara, sebagai akibat dari pengkhianatan penjual bangsa.
   Bagaimana cepat dan teraturnya Hasyim menggerakkan dan merobah strategi pertahanannya dari Kuta Raja Perak ke posisi lain dengan cepatnya yang sesuai dengan situasi dan kondisi tergambar dengan jelas dalam kalimat yang ditulis oleh Van Swieten: "Keesokan harinya di bawah perlindungan tembakan meriam marine laut dan artilleri darat yang hebat dan tiada henti-hentinya, yang banyak sekali membantu gerakan pasukan darat kita, dilakukanlah penyelidikanı di lapangan, maka pada petang hari tanggal 15 Desember 1873 itu diketahui bahwa pertahanan-pertahanan di kanan sungai sudah dikosongkan, tapi suatu kampung di kiri sungai berhadapan- berhadapan dengan benteng yang telah kita duduki telah diperkuat dan diduduki sebagai pertahanan yang strategis. Tuanku Hasyim lanjud Van Swieten memiliki siasat dan strategi peperangan yang luar biasa. Seluruh tindakannya itu telah direncanakan dengan teliti dan dilaksanakan dengan rapi. Nampak pertahanan itu dipimpin dan digerakkan sangat cepat oleh seorang ahli perang yang mahir. Andaikata kita tidak tetap mendapat laporan-laporan yang perlu dari kaki tangan yang telah berpihak kepada kita tentang rahasia-rahasia pertahanan dan penyerangannya, niscaya Tuanku Hasyim sudah dapat memukul hancur pasukan-pasukan kita.

4.2. Pertempuran Lampoh Teubee
   Pada tanggal 26 Desember 1873 terjadilah suatu pertempuran yang sangat dahsyat di lapangan yang ditumbuhi oleh tebu, bangsa Aceh menamakan perang ini dengan istilah dengan "Prang Lampoh Teubee" (Perang kebun tebu). Tebu ini sebenarnya bukan tebu biasa, tetapi suatu macam tebu yang sifatnya keras dan berdiri tegak, diberi bertaur dan diikat lagi kemudian ditanam dalam bentuk simpang siur sehingga tidak ada celah ruangan yang kosong yang dapat dipergunakan untuk melihat jarak jauh. Tebu ini sudah sejak lama ditanam dalam ukuran-ukuran tertentu atas perintah Tuanku Hasyim untuk memancing Belanda datang ke sana sehingga para pejuang yang ahli menggunakan pedang mudah untuk membabat habis pasukan Belanda.
Strategi yang dibangun oleh Tuanku Hasyim tidak dimengerti oleh Belanda. Belanda merasa beruntung karena dapat menyelundup di dalam rumpun tebu itu, merangkak mendekati Kraton dan tiba- tiba menyerang dan menguasai Dalam. Maka dengan perkiraan itu Belanda diam-diam mendaratkan tentaranya berjumlah antara 1000 sampai 2000 orang dan menuju ke dalam rumpunan tebu itu. Belanda merasa berhasil karena tidak ada tanda-tanda bahwa perbuatannya itu diketahui oleh pasukan Aceh. Belanda tidak tahu bahwa Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Imum Lueng Bata, Wan Di Mulek, Said Abdullah Al-Jamalullail dan beberapa pasukan ahli pedang sudah menanti mereka di tempat-tempat tertentu yang tidak mereka duga- duga.
   Setelah mengetahui pasukan Belanda sudah berlabuh ke muara, Tuanku Hasyim segera memerintahkan pasukan pembakarnya memusnahkan perahu-perahu yang digunakan oleh Belanda. Sehingga musnahlah sampan-sampan itu kecuali satu yang dapat melepaskan diri. Beberapa pejuang Aceh terluka dalam perkelahian dengan anak perahu, tetapi mereka dapat melarikan diri ke darat dan ketika itu juga pasukan pembakar Tuanku Hasyim membunyikan peluitnya sebagai aba-aba bahwa penyerangan dapat dimulai. Tampillah Tuanku Hasyim, Panglima Polim, Imum Lueng Bata, Tengku Di Mulek Said Abdullah Al-Jamalullail, dan beratus-ratus pejuang lainnya yang memiliki keahlian dalam menggunakan pedang keluar dari tempat persembunyiannya masing-masing dan langsung menebas serdadu-serdadu Belanda itu, rebah bertumbangan bersama-sama dengan rumpun tebu yang terpancung putus. Serdadu-serdadu itu tidak dapat berbuat apa-apa, mereka terjepit di antara rumpunan batang tebu yang rapat, hendak memancung tidak bisa karena mereka tidak mampu menetak orang yang berdiri di belakang rumpun tebu yang keras di berkas pula bersama taurnya dari bambu atau kayu, hendak menembak juga tidak bisa karena senapang mereka waktu itu berlaras panjang sehingga tidak dapat dimanfaatkan dalam rumpun tebu yang rapat itu. Kebanyakan dari mereka hanya pasrah sambil mengangkat senapan sebagai perisai untuk melindungi diri dari pancungan pejuang Aceh. Panglima Belanda yang berada di Peunayong tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam rumpunan tebu itu. Isyarat sudah diberikan menyuruh pasukannya bergerak merangkak, tetapi tanda-tanda jawaban tidak ada. Mereka hanya menanti sampai menunggu kabar seluruh pasukanya habis terkuras di ujung rencong Aceh.
   Konon dalam persitiwa itu, semua pasukan Belanda yang mendarat dan menyeludup dalam rumpunan tebu itu musnah semuanya kecuali dua atau tiga orang yang sempat melepaskan diri ke sungai dan berenang ke seberang dari kepungan, tetapi itupun diantaranya ada yang sempat ditembak oleh pasukan Aceh yang bersembunyi dipinggir sungai.
  Itulah "prang lampoh teubee" yang bersejarah sehingga Belanda terpaksa menghadiahkan serdadunya sebanyak 1000 sampai 2000 yang mati koyol dan mengosongkan kembali pertahanan Lambhuk yang pernah dikuasai sebelumnya. Tetapi menurut Van Swieten dalam bukunya mencatat bahwa pihaknya hanya menderita kerugian 9 orang mati termasuk Kapten P.F.T. La Fors, dan 78 hilang termasuk Mayor H.J.V. Lith, Kapten L.F. Nix, Letnan P.D.W. Wilkens, Letnan C.C.T.J. Hirschman dan Letnan J.K.Koot. 


3. KESIMPULAN
   Andaikata Bumi Serambi Mekkah bisa bicara, maka pasti akan mengatakan bahwa dialah yang banyak menelan dan menyimpan kerangka serdadu musuh yang mencoba menodai kesuciannya. Begitu pula di antara bingkahan tanah di Indonesia, hanya dialah yang banyak menyimpan tulang-belulang para syuhada pembela agama, bangsa dan tanah airnya. 
Oleh karena itu sepantasnya Aceh tidak hanya dijuluki Negeri Serambi Mekkah, tetapi seyogyanya juga disebut Negeri Seribu Pahlawan karena di negeri ini Acehlah yang paling banyak melahirkan begitu banyak pahlawan. pahlawan Aceh yang menonjol adalah Tuanku Hasyim Bangta Muda, la seorang panglima perang yang 40 tahun memimpin perjuangan dan peperangan melawan Belanda.
Perjuangannya dimulai dari tahun 1858 sampai 1873 dalam bentuk konfrontasi dan tahun 1873 sampai 1897 tampil dalam bentuk perang resmi. la tampil ke arena pertempuran membela agama-Nya laksana singa Allah. Pengetahuan, pengalaman dan keahliannya dalam ilmu siasat dan strategi peperangan tidak dapat diragukan lagi, baik oleh kawan maupun lawan.

REFERENSI
Paul van't Veer membagi perang Aceh ke dalam empat periode, yaitu: Perang total frontal dalam tahun 1873, kedua perang frontal dalam tahun 1874-1880, ketiga perang gerilya-toral-teratur dalam tahun 1881-1896 dan keempat perang gerilya- kelompok/perorangan dalam tahun 1897-1942. Baca De Atjeh Oorlog, hlm. 320.
Dalam Encylopaedia Britannica jilid XXI, halam 550, disebutkan bahwa serdadu- sedadi Belanda yang mati koyol lebih dari 250.000 jiwa.
Ismail Jakub “Tengku Tjhik Di Tiro, Hidup dan perdjuangan” Djakarta (1943)
Ibrahim Alfian “Perang di Jalan Allah” Jakarta (1987)
   H. Muhammad Said, “Aceh Sepanjang Abad Jilid I” hal. 621
Tgk. Lamkura Putra, “Jendra Besar Tuanku Hasyim Bangta Muda Panglima Maritim Persada Nusantara” hal. 25-26
Van Swieten, “De Warrheid Over Onze Vestiging In Atjeh” 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Singkatnya begini

PEMBAGIAN ZAMAN TERSEBARNYA AGAMA ISLAM DI NEGRI NEGRI MELAYU

JAS MERAH